Kisah Ashhabu Sabt
Ketiga ayat di atas adalah menceritakan tentang Ashabus Sabt, adalah
sekelompok kaum Yahudi yang menjadi umat Nabi Musa As. Mereka tinggal di
pesisir Laut Merah. Kisah ini menceritakan tentang sebuah desa
orang-orang Yahudi yang terletak di pesisir lautan, yaitu sebuah desa
pesisir di antara desa-desa yang mereka diami. Orang-orang Yahudi
setempat telah diperintahkan Allah untuk tidak berburu dan menangkap
ikan pada hari Sabtu dan mereka dibolehkan untuk menangkap pada
hari-hari lain dalam sepekan.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dikisahkan sebuah riwayat dari Abdur Razzaq
mengatakan, telah mencerita kan kepada kami Ibnu Juraij, telah
menceritakan kepadaku seorang lelaki, dari Ikrimah yang mengatakan,
"Pada suatu hari aku pernah datang kepada Ibnu Abbas. Saat itu Ibnu
Abbas sedang menangis, dan tibatiba ternyata ia sedang memegang mushaf
di pangkuannya. Maka aku merasa segan untuk mendekat kepadanya. Aku
masih tetap dalam keadaan demikian (menjauh darinya) hingga pada
akhirnya memberanikan diri untuk maju dan duduk di dekatnya, lalu aku
bertanya, 'Hai Ibnu Abbas, apakah yang membuatmu menangis? Semoga Allah
menjadikan diriku sebagai tebusanmu.' Ibnu Abbas menjawab, 'Karena
lembaran lembaran ini ' ."
Ikrimah melanjutkan kisahnya, 'Ternyata lembaranlembaran yang dimaksud
adalah surat AlA'raf. Lalu Ibnu Abbas bertanya, 'Tahukah kamu kota Ai
lah?' Aku menjawab, 'Ya. ' Ibnu Abbas berkata bahwa dahulu pada kota itu
tinggallah suatu kabilah Yahudi yang digiring ikanikan kepada mereka
pada hari Sabtu, kemudian pada hari yang lainnya ikanikan itu menyelam
ke dalam laut, sehingga mereka tidak dapat lagi menangkapnya kecuali
setelah mereka menyelam dan bersusah payah.
Pada hari Sabtu ikanikan itu datang kepada mereka terapungapung di
permukaan air laut, kelihatan putihputih lagi gemukgemuk, seakanakan
seperti perak seraya membolakbalikkan punggung dan perutnya di pinggir
laut tempat mereka tinggal. Mereka tetap menahan diri seperti demikian
selama beberapa waktu. Kemudian setan membisikkan mereka seraya
mengatakan sesungguhnya kalian hanya dilarang memakannya saja pada hari
Sabtu. Karena itu, tangkaplah oleh kalian ikanikan tersebut pada hari
Sabtu dan memakannya di harihari yang lain. Segolongan orang dari
mereka mengatakan demikian, seperti yang dibisikkan oleh setan;
sedangkan segolongan yang lainnya mengatakan, 'Tidak, bahkan kalian
tetap dilarang memakan dan menangkap serta memburunya pada hari Sabtu.'
Mereka dalam keadaan demikian (berdebat) selama beberapa hari hingga
datanglah hari Jumat berikutnya. Maka pada keesokan harinya ada
segolongan orang dari mereka berangkat menuju ke tepi pantai bersama
dengan anakanak dan istriistri mereka (untuk menangkap ikan),
sedangkan segolongan yang lainnya —yai tu golongan yang kanan—
mengisolisasi diri dan menjauh dari mereka; dan segolongan yang lainnya
lagi —yaitu golongan kiri— memisahkan diri, tetapi diam, tidak melarang.
Golongan kanan mengatakan, 'Celakalah kalian ini dari siksa Allah. Kami
telah melarang kalian, janganlah kalian menjerumuskan diri kaitan ke
dalam siksaan Al lah. ' Lalu golongan kiri mengatakan (kepada golongan
kanan), seperti yang disebutkan oleh firmanNya:
لِمَ تَعِظُونَ قَوۡمًاۙ ٱللَّهُ مُهۡلِكُهُمۡ أَوۡ مُعَذِّبُہُمۡ عَذَابً۬ا شَدِيدً۬ا
Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang keras? (Al A'raf: 164)
Golongan kanan menjawab, seperti yang dikisahkan oleh firmanNya:
مَعذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ
Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian dan supaya mereka betaqwa (al-A'raf: 164)
Yakni agar mereka menghentikan perburuan ikan di hari Sabtu. Jika mereka
mau menghentikannya, maka hal tersebut lebih kami sukai agar mereka
tidak terkena azab Allah dan agar mereka tidak dibinasakan. Dan jika
ternyata mereka tidak mau menghentikan perbuatannya, maka alasan kami
cukup kuat kepada Tuhan kalian (untuk melepas tanggung jawab).
Akan tetapi, mereka yang dilarang tetap melakukan pelanggaran itu. Maka
golongan kanan berkata, 'Hai musuhmusuh Atlah, demi Allah, sesungguhnya
kalian telah melanggar, sesungguhnya kami akan datang malam ini ke kota
kalian. Dan demi Allah, kami tidak akan melihat kalian pada pagi
harinya melainkan kalian telah ditimpa oleh gempa atau kutukan atau
sebagian dari azab yang ada di sisi Allah.'
Ketika pagi harinya tiba, golongan kanan mengetukngetuk pintu
perkampungan mereka, tetapi tidak dibuka; dan golongan kanan menyeru
mereka, tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya golongan kanan mengambil
tangga, dan seorang lelaki dari golongan kanan menaiki tangga itu dan
berada di atas tembok kampung tersebut. Latu ia melayangkan pandangannya
ke seluruh perkampungan itu, kemudian berkata, 'Hai hambahamba Allah,
yang ada hanyalah kerakera. Demi Allah, kerakera itu meloncat loncat
seraya mengeluarkan suara jeritannya, semuanya mempunyai ekor' ."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Lalu mereka (golongan kanan) membuka
pintu gerbangnya dan masuklah mereka ke dalam perkampungan itu.
Kerakera tersebut mengenal saudara mereka dari kalangan manusia, tetapi
yang menjadi saudara mereka dari kalangan manusia tidak mengenal
kerakera itu. Lalu kerakera itu masing masing mendatangi familinya
dari kalangan manusia seraya menciumi pakaiannya dan menangis. Maka
saudara nya yang manusia itu berkata, 'Bukankah saya telah melarang
kalian melakukan hal ini?
Maka si kera menjawab dengan anggukan kepala yang berarti mengiakan. Kemudian Ibnu Abbas membaca kan firmanNya:
فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُڪِّرُواْ بِهِۦۤ أَنجَيۡنَا ٱلَّذِينَ يَنۡہَوۡنَ
عَنِ ٱلسُّوٓءِ وَأَخَذۡنَا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ بِعَذَابِۭ بَـِٔيسِۭ
بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka. Kami
selamatkan orangorang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami
timpakan kepada orangorang yang zalim siksaan yang keras. (AlA'raf:
165)
Selanjutnya ia mengatakan, "Maka saya melihat bahwa orangorang yang
melarang perbuatan jahat itu telah diselamatkan, sedangkan saya tidak
melihat golongan lainnya (yang tidak terlibat) disebutkan. Dan memang
kita pun sering melihat banyak hal yang tidak kita sukai, tetapi kita
tidak dapat mengatakan apaapa terhadapnya." [7]
Perbedaan Ulama’ Tentang Perubahan Bentuk
Ayat di atas memberikan ancaman kepada orang-orang Yahudi yang masih
ada saat diturunkan Al Qur’an maupun bagi orang-orang setelahnya yang
mengingkari Rasulullah Saw. dan menyimpangkan firman Allah dari
tempatnya hingga Allah memberikan hukuman kepada mereka sebagaimana Dia
stelah memberikan hukuman kepada orang-orang Yahudi yang melanggar
perintah-Nya ketika mereka dilarang dari menjaring (ikan) pada hari
sabtu yang kemudian mereka melakukan trik dan membolehkan menjaring
sehingga hukuman bagi mereka adalah dirubah bentuk mereka oleh Allah
menjadi monyet dan babi yang menjadikan mereka hina dan dimurkai.
Dalam hal ini, dikalangan mufasir terdapat dua pendapat tentang makna
al-maskhu (merubah bentuk) apakah ia perubahan bentuk yang bersifat
fisik ataukah perubahan maknawi, artinya apakah perubahan orang-orang
yang melampaui batas itu menjadi monyet dan babi itu adalah perubahan
yang hakiki ataukah hanya perubahan di dalam prilaku mereka sehingga
prilaku mereka seperti monyet dan babi yang mengalihkan kemuliaan mereka
sebagai manusia kepada kehinaan bagi mereka seperti monyet dan babi ?
Sedikit dari para mufasir yang mengatakan bahwa ia adalah perubahan
maknawi. Di dalam Tafsir al Qurthubi disebutkan bahwa pendapat seperti
ini diriwayatkan dari Mujahid didalam menafsirkan ayat ini yaitu
perubahan pada hati mereka dan pemahaman mereka berubah seperti
pemahaman monyet dan tidak ada lagi mufasir yang mengatakan hal ini
selainnya, sepengetahuan ku.
Pendapat Mujahid dan kelompok yang menyatakan bahwa yang dimaksud
dirubah menjadi babi dan kera adalah secara maknawi bukan hakiki, adalah
sangatlah lemah, karena ayatnya berbunyi"jadilah kalian kera yang
hina", jika anggapan mereka benar, maka otomatis ayatnya "maka jadilah
kalian seperti kera yang hina". Seperti ayat berikut ini.
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ
وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ
يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu
menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidah nya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka)
kisah-kisah itu agar mereka berpikir.(Qs al-‘arof[7]:176)
Sementara kebanyakan dari mufasir mengatakan bahwa perubahan itu berupa
fisik. Dan mereka yang mengatakan hal ini pun telah berselisih, apakah
mereka berketurunan setelah dirubah ataukah tidak berketurunan ? Al
Qurhubi menjelaskan bahwa para ulama telah berselisih tentang
orang-orang yang telah dirubah itu apakah mereka berketurunan menjadi
dua pendapat :
1. Al- Zajjaj mengatakan bahwa sekelompok ulama ada yang mengatakan
boleh dikatakan bahwa monyet-monyet itu berasal dari mereka, pendapat
ini dipilih oleh al Qodhi Abu Bakar bin al Arabiy.
2. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa orang-orang yang telah
dirubah itu tidaklah berketurunan dan bahwasanya sebelum mereka sudah
terdapat monyet, babi atau yang lainnya. Sedangkan orang-orang yang
telah dirubah oleh Allah telah binasa, punah dan mereka tidaklah
memiliki keturunan karena mereka ditimpa kemurkaan dan adzab sehingga
mereka tidak bisa hidup di dunia lebih dari tiga hari.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa orang-orang yang telah dirubah tidaklah
bertahan hidup lebih dari tiga hari, tidak makan, tidak minum dan tidak
berketurunan. Ibnu Athiyah mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Nabi
saw yang menyebutkan bahwa orang-orang yang telah dirubah itu tidaklah
berketurunan, tidak makan, tidak minum dan tidak hidup lebih dari tiga
hari. Al Qurthubi mengatakan bahwa inilah yang benar dari kedua pendapat
tersebut.
Para ulama yang berpendapat bahwa orang-orang yang telah dirubah itu
tetap hidup dan berketurunan berargumentasi dengan apa yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,"Suatu umat
dari Bani Israil telah lenyap dan tidak diketahui apa yang telah
dilakukannya. Dan aku tidaklah melihatnya kecuali tikus. Tidakkah kalian
melihatnya apabila diberikan kepadanya susu onta (maka) dia tidaklah
meminumnya dan jika diberikan kepadanya susu kambing (maka) dia
meminumnya."
Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim Abu Said dan Jabir bahwa Nabi saw
didatangkan kepadanya saw seekor biawak lalau beliau saw tidaklah
memakannya dan bersabda,"Aku tidak mengetahui bisa jadi ini berasal dari
abad-abad yang telah dirubah"
Jumhur menjawab hal itu bahwa perkataan Rasul itu hanyalah dugaan dan
kehati-hatian sebelum diwahyu kan kepadanya bahwa Allah tidak menjadikan
orang-orang yang telah dirubah itu berketurunan. Dan tatkala diwahyukan
kepadanya tentang hal itu maka berlalulah semua kekhawatiran tersebut
dan beliau saw mengetahui bahwa biawak dan tikus bukanlah dari yang
dirubah.
Sepertihalnya kelompok pertama yang berargumentasi dengan apa yang
diriwayatkan bahwa seekor monyet berzina kemudian berkumpullah para
monyet yang melakukan perajaman terhadapnya dan terdapat seorang
laki-laki yang ikut serta melakukan perajaman itu.
Mayoritas ulama’pun menjawabnya dengan mengatakan bahwa riwayat tersebut
tidaklah terdapat didalam "Shahih al Bukhori" akan tetapi didalam
"Tarikh" nya. Sebagian orang merekayasanya sebagai yang shahih. Para
perawinya tidaklah termasuk orang-orang yang bisa dipakai argumentasi.
Seandainya berita itu shahih pastilah mereka dari kalangan jin karena
mereka seperti manusia didalam taklif. Tidak ada taklif bagi binatang
sehingga diterapkan baginya hukuman zina.
Adapun dalil jumhur atas pendapat mereka adalah apa yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim didalam kitab "al Qodr" bahwa Nabi saw pernah ditanya
tentang monyet dan babi : Apakah dia termasuk dirubah ?’ lalu beliau
menjawab," Sesungguhnya Allah tidaklah membinasakan suatu kaum atau
mengadzab suatu kaum lalu menjadikan keturunan bagi mereka. Dan
sesungguhnya monyet dan babi sudah ada sebelum itu." Ini nash yang jelas
dan shahih diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud oleh Muslim dan terdapat
nash-nash tentang memakan biawak dihadapan Nabi saw diatas hidangannya
sementara beliau saw tidaklah mengingkarinya. Itu semua menunjukkan
betul apa yang dipilih al Qurthubi dari dua pendapat di atas, yaitu
bahwa orang-orang yang telah dirubah tidaklah berketurunan.[8] .
Walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang apakah manusia yang dikutuk
menjadi hewan tersebut mempunyai keturunan apakah tidak, akan tetapi
mereka sepakat bahwa telah terjadi pada umat-umat dahulu yang
menentang perintah Allah dikutuk menjadi hewan dan bentuk lain
sebagainya.
Sumber: http://cahayagusti.blogspot.com/2012/08/reinkarnasi-dalam-islam.html